Rabu, 10 Februari 2016

Terimakasih Untuk Diri Saya Sendiri

source image : http://photodoto.com/tumblr-blogs-for-photographers/
Saya benci taman saat akhir pekan. Saya benci menjadi sepi ketika melihat orang lain berlalu-lalang dengan raut bahagia.  Saya tidak suka melihat tawa mereka yang membuncah, seakan tak pernah melewati setitikpun masalah di hidupnya. Saya tidak menyukai semuanya. Hiruk-pikuk, aroma permen kapas, gelembung balon yang berterbangan, serta suara gesekan pantat anak-anak dengan perosotan tua yang terdengar ngilu di telinga saya.

Ada yang riuh dan gemuruh, bertalu-talu dalam pikiran saya. Mereka gaduh, berkali-kali mengatakan, “Kamu hanya iri dengan apa yang mereka miliki”. Namun saya hanya diam, sambil sesekali mengiyakan dan mengangguk samar.

Kamu hanya iri dengan apa yang mereka miliki.

Menyedihkan. Saya sungguh terlihat menyedihkan. Memendam rasa iri pada orang yang bahkan tidak saya kenal. Diam-diam saya menertawakan diri sendiri. Tawa saya kencang, menggema di setiap sudut kamar. Namun hati saya seperti teriris kecil-kecil. Darahnya mengucur deras. Sakit.
Saya memang iri. Kepada mereka yang masih bisa tertawa diselingi usapan lembut sang ayah. Kepada mereka yang merajuk meminta dibelikan mainan pada sang ibu. Atau kepada mereka yang hampir menangis karena diledek terus-menerus oleh sang kakak. Saya iri pada mereka, sebab saya tak memiliki itu semua.

Tentu saya tak bisa menyalahkan Tuhan. Segala sesuatu yang sudah direncanakan oleh-Nya adalah yang terbaik, tanpa saya ketahui. Namun sampai sekarang, saya belum merasakan melalui sudut pandang manakah agar saya bisa melihat kebaikannya. Melalui sisi mana agar saya bisa menerima takdir-Nya dengan hati lapang. Saya merenung berhari-hari, hingga sadar, yang saya butuhkan hanya melangkah lebih jauh. Saya hanya perlu mencari rupa bahagia lain untuk mengisi hati yang sudah mengeras. Saya hanya perlu membuka mata lebih lebar untuk melihat hal-hal kecil yang selama ini saya abaikan. Saya harus merelakan, sebab Tuhan memberikan apa yang saya butuhkan, bukan apa yang saya inginkan.

Mungkin kebahagiaan yang saya kira paling benar bukanlah bahagia yang ingin Tuhan berikan pada saya. Ada kejadian mengejutkan di luar sana yang siap disambut. Ada tangan yang siap terulur ketika saya terjatuh. Ada rentangan peluk, meminta saya untuk merengkuh tanpa ragu. 

Terimakasih, untuk diri saya sendiri karena telah bertahan. Terimaksih untuk berjuang dan menyadari semua kesalahan di masa lalu. Terimakasih, karena tidak menyia-nyiakan hidup untuk sekedar iri kepada orang lain.

2 komentar: