source image : http://photodoto.com/tumblr-blogs-for-photographers/ |
Saya benci taman saat akhir pekan. Saya benci
menjadi sepi ketika melihat orang lain berlalu-lalang dengan raut bahagia. Saya tidak suka melihat tawa mereka yang
membuncah, seakan tak pernah melewati setitikpun masalah di hidupnya. Saya
tidak menyukai semuanya. Hiruk-pikuk, aroma permen kapas, gelembung balon yang
berterbangan, serta suara gesekan pantat anak-anak dengan perosotan tua yang
terdengar ngilu di telinga saya.
Ada yang riuh dan gemuruh, bertalu-talu dalam pikiran saya. Mereka gaduh, berkali-kali mengatakan, “Kamu hanya iri dengan apa yang mereka miliki”. Namun saya hanya diam, sambil sesekali mengiyakan dan mengangguk samar.
Kamu hanya iri
dengan apa yang mereka miliki.
Menyedihkan. Saya sungguh terlihat menyedihkan.
Memendam rasa iri pada orang yang bahkan tidak saya kenal. Diam-diam saya
menertawakan diri sendiri. Tawa saya kencang, menggema di setiap sudut kamar.
Namun hati saya seperti teriris kecil-kecil. Darahnya mengucur deras. Sakit.
Saya memang iri. Kepada mereka yang masih bisa
tertawa diselingi usapan lembut sang ayah. Kepada mereka yang merajuk meminta
dibelikan mainan pada sang ibu. Atau kepada mereka yang hampir menangis karena
diledek terus-menerus oleh sang kakak. Saya iri pada mereka, sebab saya tak
memiliki itu semua.
Tentu saya tak bisa menyalahkan Tuhan. Segala
sesuatu yang sudah direncanakan oleh-Nya adalah yang terbaik, tanpa saya
ketahui. Namun sampai sekarang, saya belum merasakan melalui sudut pandang
manakah agar saya bisa melihat kebaikannya. Melalui sisi mana agar saya bisa
menerima takdir-Nya dengan hati lapang. Saya merenung berhari-hari, hingga
sadar, yang saya butuhkan hanya melangkah lebih jauh. Saya hanya perlu mencari
rupa bahagia lain untuk mengisi hati yang sudah mengeras. Saya hanya perlu
membuka mata lebih lebar untuk melihat hal-hal kecil yang selama ini saya
abaikan. Saya harus merelakan, sebab Tuhan memberikan apa yang saya butuhkan,
bukan apa yang saya inginkan.
Mungkin kebahagiaan yang saya kira paling benar
bukanlah bahagia yang ingin Tuhan berikan pada saya. Ada kejadian mengejutkan
di luar sana yang siap disambut. Ada tangan yang siap terulur ketika saya
terjatuh. Ada rentangan peluk, meminta saya untuk merengkuh tanpa ragu.
Terimakasih, untuk diri saya sendiri karena telah bertahan. Terimaksih untuk
berjuang dan menyadari semua kesalahan di masa lalu. Terimakasih, karena tidak
menyia-nyiakan hidup untuk sekedar iri kepada orang lain.
Seketika menghela napas
BalasHapusHihi, why?
Hapus