Minggu, 28 Februari 2016

Surat Untuk Tukang Pos

source image : tumblr.com
Hai Kak Mini! Apa kabar? Belum capek nganter surat-surat kita, para pecinta kan? 

Nggak kerasa ya Kak, Februari udah mau habis. Aku bakal kangen nulis di blog, dan kakak pasti juga kangen baca-baca surat dari kami kan? Hahaha.

Jujur Kak, sebelum ada event #30HariMenulisSuratCinta ini aku belum kenal dan belum follow akun kakak lho. Aku aja ikut event ini telat, dan baru ngirim surat di pertengahan bulan. Nah, setelah tau ada event #30HariMenulisSuratCinta aku baru tahu kakak. Itupun nggak begitu tahu, karena follower baru. Kak Mini, panggilan akrabnya dan akupun ikut-ikutan orang lain manggil Kak Mini. Nggak tahu asal muasal mini darimana, pas aku nge-stalk akun instagram kakak, padahal kakak nggak mini-mini banget kok. Hahaha. Sebagai orang yang lumayan kepo, akupun suka nge-stalk ig, blog juga twitter kakak, lho. Aduh ketauan jadi stalker deh selama ini.

Aku pribadi mau ngucapin makasih banget karena kakak udah mau nganter surat-suratku dan pecinta lainnya. Di tengah kesibukan kakak yang padat, bahkan kakak tetep jadi tukang pos yang profesional. Semoga Allah membalas kebaikan kakak ya, karena aku sendiri nggak bisa mbalas langsung.

Oh iya Kak, pas suratku masuk di Pos Cinta, aku langsung jerit-jerit bahagia lho. Rasanya seneng banget. Aku juga seneng waktu dua surat pertamaku dapet ‘komenan’ dari kakak, walaupun itu cuma ‘semangat!’ atau emot sedih, tapi nggak tau kenapa aku suka. Respon dari kakak itu semacam penyemangat buat aku lho, walaupun dua surat pertama tadi belum diloloskan Bose buat masuk di Pos Cinta. Aku liat di surat-surat pecinta lain ternyata mereka nggak dapet ‘komenan’ dari kakak. Jujur, waktu itu senengku tambah berlipat-lipat. Surat ketiga, keempat, kelima dan seterusnya aku nggak dapet komenan dari kakak lagi. Ya, mungkin kakak nggak sempet dan sibuk. Hehehehe.

Kak Mini, ‘komen’ dari kakak itu sangat berarti lho. Aku jadi tahu perasaan kakak waktu baca suratku. Aku jadi tahu apa kakak sependapat atau nggak sama isi suratku. Mungkin di event #30HariMenulisSuratCinta yang akan datang, kakak bisa lebih sering-sering ngasih komenan surat buat kami ya. Maaf ya Kak kalau aku bawel dan sok ngasih saran, ehehehe.

Last but not least, thank you Kakak Mini! Salam buat Mr. Nob :D


Sabtu, 27 Februari 2016

Jika Aku Menjadi Februari

Source image : tumblr.com
Jika aku menjadi Februari, aku ingin menurunkan hujan setiap harinya. Di sana, kamu akan meringkuk sambil memegangi gelas berisi cokelat hangat, sedangan aku bergelung di atas kasur sambil memikirkan hal-hal menyenangkan yang akan kulakukan bersamamu. Mungkin bermain genangan air di jalan, saling kirim pesan romantis, atau hanya diam berduaan menonton televisi di dalam kamar.

Jika aku menjadi Februari, aku akan menciptakan hari ke tiga puluh, sebab dua puluh sembilan hari tak cukup untuk menyampaikan surat-suratku. Aku tak bisa menulis setiap hari, sayang. Jemariku sering tak lancar mengetik, otakku sulit memilah kalimat yang tepat, dan mood-ku cepat berubah setiap jamnya.

Jika aku menjadi Februari, aku akan membuat hari-hari yang menyenangkan. Hari yang dipenuhi cinta, serta tak ada tengkar. Aku tak ingin ada lagi luka. Pun bulan seterusnya.

Jika aku menjadi Februari, aku ingin merawat rindu yang membelukar setiap tanggalnya. Sebab ada dua anak manusia yang terpisah jarak, saling memendam untuk sebuah temu. Mereka dengan sabar menanti hingga penghujung Februari. Mungkin ada banyak pasangan lain yang sedang menahan rindu pula.

Jika aku menjadi Februari, aku akan menjaga keistimewaannya. Ia berbeda. Ia berisi dua puluh sembilan hari penuh cinta. Penuh keluh kesah. Penuh sesal, maaf, terimakasih serta ungkapan lain. Orang-orang sibuk menulis surat penumpahan perasaannya. Mereka menulisnya di balik laptop, gadget, atau komputer dengan sepenuh hati. Mereka menuliskan semuanya di bulan Februari. Begitu pula denganku.


Andai saja, aku adalah Februari. Aku akan melakukan semua yang kumau. Namun, aku bukan Februari. Aku tetaplah perempuan yang diam-diam membantu mengobati luka hatimu. Semoga lukamu terobati di bulan Februari ini. Semoga hatimu bukan lagi berada pada gengaman perempuan yang telah meninggalkanmu. Semoga saja.

Rabu, 24 Februari 2016

Tersesat

source image : positiveway.me
Wanita itu, aku sering melihatnya. Di pertigaan jalan yang jarang dilalui kendaraan. Ia menolehkan kepala ke kiri dan kanan. Gelisah.

Aku hanya diam, tak ada niatan menghampirinya. Biar saja, mungkin ia juga tersesat, sama sepertiku.
Biar saja kita sama-sama tersesat. Biar saja kita tak kunjung menemukan jalan pulang. Asal jangan sampai mati kelelahan menungu kendaraan untuk pulang. Setidaknya, aku masih rindu berbaring dikasur seharian.

Wanita itu tiba-tiba menatapku. Tatapannya dalam, akupun tak gentar. Sepertinya ia ingin berbicara sesuatu, namun yang kulihat hanya bibirnya yang tetap mengatup tanpa gerakan.

Sudah satu jam, kami hanya saling tatap. Masing-masing dari kami tak ada yang beranjak. Aku mulai mengamatinya dengan cermat. Tubuhnya, mata, hidung, bibir. Astaga! Ia memiliki kesamaan hampir semua yang melekat padaku. Hanya, uh ia memiliki kantung mata yang cukup besar. Sepertinya ia kelelahan dan tidak tidur semalaman. Aku berusaha tak peduli dan bermaksud kembali melanjutkan berjalan. Namun kakiku seperti menancap pada aspal yang sedang kupijak. Langkahku berat. Kutatap kembali wanita tadi, dan ia tersenyum samar. Mulutnya terbuka, mengucapkan kalimat tanpa suara. Yang dapat kutangkap dari gerak-gerik bibirnya adalah, “Mari mencari jalan keluar bersama.”

Wanita itu tetap menatapku.

Aku diam, memikirkan sesuatu.

Wanita itu adalah bagian dari diriku.

Wanita itu adalah aku.

Senin, 22 Februari 2016

Pertemuan Dalam Mimpi

source image : tumblr.com
Mimpi adalah bunga tidur semata. Namun adakalanya ketika bermimpi, kamu percaya bahwa suatu peristiwa akan terjadi, entah itu hal buruk ataupun baik.

Anita, tadi malam aku bermimpi tentangmu. Padahal kita sudah tiga tahun tak bertemu. Aku tak tahu, apakah itu pertanda baik atau buruk. Aku melihatmu berdiri tegap, lalu meraih tanganku, dan mengajak untuk lari beriringan. Kita terlihat sangat bahagia. Kita sama-sama tertawa, entah atas sebab apa. Yang kuingat, tadi malam kamu membawaku berlari menyisir pinggiran pantai. Aku menurut, tanpa banyak menuntut.

Ingat tidak, beberapa tahun yang lalu kita pernah melakukan hal yang nyaris serupa? Saat itu kita saling kejar dan berebut LKS untuk menyontek PR. Aku bersikukuh mengambilnya darimu. Namun kamu dengan sabar duduk di sebelahku, dan berkata lebih baik kita menyalinnya bersama. Aku mengangguk dengan mulut cemberut, tapi kamu malah tertawa sambil memegangi perut, seolah wajahku adalah hal terlucu yang wajib untuk ditertawakan. Ah, betapa aku ingin mengulang masa-masa itu, Nit.

Ngomong-ngomong, tadi malam tubuhmu jauh lebih tinggi sejak pertemuan terakhir kita beberapa tahun yang lalu. Kulitmu juga lebih gelap. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah kamu lebih banyak menghabiskan waktu di bawah terik matahari? Apakah kamu sering bergelut dengan asap dan debu di jalan, mengingat kuliahmu sering melakukan praktek di lapangan. Aku bertanya dalam hati, sedangkan kamu sibuk tersenyum pada langit yang mulai menguning.

Jika mimpi ini pertanda bahwa kita akan bertemu lagi, tentu aku sangat senang. Kita sudah cukup lama tak saling sapa sejak kamu memutuskan untuk pindah ke luar kota bersama keluargamu. Aku berusaha menerimanya dengan lapang dada, apalagi kamu tak memberitahuku sebelumnya. Jujur aku kecewa, karena harus mengetahui kepergianmu dari orang lain. Kamu tahu, Nit? Bahkan aku mengetahui tempat tinggal dan kampusmu dari salah satu teman SMP kita yang tak sengaja pernah bertemu denganmu. Aku bertanya padanya, apakah ia mempunyai nomer HP, atau kontak lain yang bisa menghubungkanku denganmu. Namun ia menjawabnya dengan gelengan kepala. Aku mendesah kecewa mengetahuinya. Ada apa, Nit? Apakah aku mempunyai kesalahan besar padamu? Apakah kesalahanku tak bisa kau maafkan? Seingatku pertemuan terakhir kita berjalan baik-baik saja tanpa adanya tengkar.

Anita, betapa aku ingin kita kembali duduk bersebelahan, membicarakan apapun yang terlintas di kepala. Kamu menceritakan kehidupanmu di sana dengan teman-teman barumu, lalu aku mendengarkanmu sambil menyanggah jengah jika ada teman yang dapat menggantikanku. Egois? Ya, kamu pasti sudah tahu dengan sifatku yang satu itu. Kamu tidak keberatan kan?


Dari sahabat kecilmu yang tengah mengurut rindu.


Minggu, 21 Februari 2016

Terimakasih, Tolong dan Maaf Untuk Tuhan

source image : loveinshallah.com
Tuhan, sedang sibukkah?
Aku mengirim surat yang entah akan Kau baca kapan
Mungkin nanti malam, besok atau lusa
Tak apa, yang penting tersampaikan

Tuhan, aku makhlukmu
Terimakasih atas segala kebaikanmu
Semuanya tak bisa kusebut satu-satu
Sepertinya kata terimakasih saja tak cukup
Maka aku pergi untuk melaksanakan kewajibanku,
Menyembahmu

Tuhan, aku makhlukmu
Tolong jaga orang-orang terdekatku
Tolong ingatkan mereka ketika lupa akan perintah-Mu
Tolong rengkuh mereka saat jatuh menghadapi ujian-Mu,
Sebab mereka adalah oksigen yang mampu membuatku bertahan sampai saat ini

Tuhan, aku makhlukmu
Rasanya hirup nafas tak lagi terasa karena rasa takut
Rasanya detik-detik kematian semakin mengancam
Aku semakin kalut,
Aku pekat akan dosa, dan aku tahu Kau adalah pemaaf
Apakah kesalahanku akan dimaafkan begitu saja?
Apakah ada syarat lain?
Katakan padaku, Tuhan

Aku menunggu jawabanmu.

Sabtu, 20 Februari 2016

Surat Untuk Tuan Kopi

source image: tumblr.com
Kopi. Lagi-lagi tentang kopi.

Saya tidak menyukai kopi. Rasanya pahit, seperti obat. Dan saya tidak pernah paham pada orang-orang yang menggilai kopi.

Seseorang pernah berkata pada saya, kopi akan nikmat jika diseduh dengan takaran yang tepat. Saya menggumam dalam hati, ah paling sama saja. Kopi yang saya seduh sama sekali tidak enak. Ya, mungkin saya memang tidak diberi bakat untuk menyeduh dan menikmati kopi.

Seseorang pernah berkata pada saya, kopi adalah minuman pereda stres paling ampuh. Tapi menurut saya tidak. Kopi membuat saya mual. Sepertinya lambung saya tidak setuju jika dijejali kafein atau zat lain yang terkandung dalam kopi.

Seseorang pernah berkata pada saya, jangan pernah meremehkan kekuatan kopi. Saat itu, saya hanya tertawa dalam hati. Memangnya kopi mempunyai ilmu supranatural? Memangnya kopi mampu menghilangkan masalah yang berputar-putar di kepala saya? Ah, pasti itu hanya alasan bagi para penikmat kopi yang terlalu berlebihan.

Seseorang pernah menyeduhkan kopi untuk saya, dan tentu saja saya menolaknya. Ia terus membujuk, hingga saya terpaksa meminumnya barang satu-dua sesapan. Mungkin kopi yang saya minum saat itu adalah kopi terbaik. Ya, terang saja. Saya kan hanya meminum kopi satu-dua kali seumur hidup. Namun anehnya kopi yang saya rasakan benar-benar pas. Rasanya tidak sepahit yang saya kira. Entahlah, mungkin karena rekah senyummu hingga saya lupa pada pahitnya kopi.


Orang itu kamu, yang mampu membuat saya jatuh cinta dan membenci kopi dalam hitungan detik. Hai Tuan kopi, apa kabar? Apakah kamu berkenan menyeduhkan kopi lagi untuk saya? 

Dari wanita pembenci kopi

Kamis, 18 Februari 2016

Filosofi Nama

source image : http://bellejar.ca/
Perkenalkan, nama saya Ira Cucu Cidar. Saya lebih suka dipanggil Icus daripada Ira, Cucu atau bahkan Cidar walaupun ada sebagian teman saya yang memanggilnya begitu. Surat ini saya tulis untuk siapa saja yang mau membaca. Untuk siapa saja yang mengenal ataupun tidak mengenal saya.

Hal pertama yang diucapkan orang-orang ketika bertanya nama saya adalah; “Nama kamu unik, ya?” “Mbah kamu namanya Cidar dong?” “Lucu ya namanya, langka” “Cidar itu nama marga kamu ya?” hingga pertanyaann aneh seperti “Kamu orang Bandung ya?” padahal tidak ada darah Sunda yang mengalir di tubuh orangtua saya. Saya hanya tersenyum tipis sambil menahan pening ketika mereka tak henti-henti menanyakan filosofi nama saya.

Sebenarnya saya sudah bosan dan hampir muak setiap ditanyai arti nama yang melekat pada diri saya. Pernah saat kuliah perdana, hampir setiap dosen menanyai arti nama saya. Pertanyaannya hampir sama, hingga saya pernah memutuskan untuk menulis arti nama saya pada kertas, lalu menempelkannya di jidat supaya orang-orang berhenti menanyainya. Namun ide gila itu hanya saya pendam dalam hati, dan saya kembali melanjutkan menulis materi dari dosen yang cukup membosankan.

Nama saya Ira Cucu Cidar. Cidar sendiri merupakan singkatan nama Mbah dari Bapak dan Ibu saya. Ci itu Cipto dan Dar adalah Darminto. Jadilah satu kata yang cukup asing didengar orang-orang. Cidar. Orang tua saya memang kreatif dan memiliki cara untuk ‘menandai’ anaknya dengan khas.

Entah mengapa, saya kurang suka dipanggil Ira. Saya lebih suka dipanggil Icus (Nama panggilan sejak SMP) ataupun Cece (Hanya orang tertentu yang memanggil saya dengan sebutan ini). Tidak ada alasan apapun. Rasanya seperti ketika kalian makan indomie dengan toping cokelat ataupun ovomaltine. Aneh, kan. Bukannya tidak mensyukuri nama yang diberi oleh orangtua, tapi saya merasa menjadi orang lain ketika dipanggil Ira. Aneh? Yes, I am.

Surat ini memang (sedikit) tidak penting, namun entah mengapa saya ingin menulisnya. Mungkin bagi yang sudah terlanjur membacanya, kalian akan mengumpat kesal karena telah meluangkan waktu untuk hal-tidak-sepenting-ini. Jadi, maafkan.


Dari wanita yang (agak) keras kepala dan enggan dipanggil Ira.

Rabu, 17 Februari 2016

(Bukan) Dari Fictophiliamu

My Revered Back
Ganteng, pinter, detektif abis, care dan segudang sifat lain yang mampu bikin aku jatuh cinta pas baca Revered Back dalam sekali duduk.
Hai, Dim. Baru kali ini lho, aku ngirim surat buat tokoh fiksi yang memang nggak akan ada di bumi. Ada sih, walaupun itu ada dalam bentuk novel, hehe. Aku ini salah satu penggemarmu dari sekian banyak pembaca Revered Back. Aku juga salah satu dari sekian banyak pembaca yang sedih bahkan ikutan nangis ketika kamu meninggal. Aku berpikir, kenapa orang sebaik kamu harus meninggal tanpa mendengarkan jawaban teka-teki dari Jana? Ah, walaupun di bab awal sampai pertengahan diceritakan kalau kamu cuek setengah mati sama Jana, tapi kamu tetep care sama dia. Walaupun kamu sempet bentak-bentak Jana waktu di rumah sakit karena ia mencelakakan Gwen, aku tetep salut sama kamu. Setelah itu kamu sadar dan minta maaf kalau perkataanmu jelas-jelas menyakiti Jana. Jujur, di bab itu hatiku ikut terbelah soalnya kamu nggak mau ndengerin penjelasan Jana lebih dulu dan terlanjur maki-maki dia. Kamu mati-matian belain Gwen. Ah, aku bisa ngerasain rasanya jadi Jana.
Di pertengahan baca novel ini, kadang aku suka mampus-mampusin kamu. Ngata-ngatain kamu. Soalnya kamu jahatnya nggak ketulungan, Dim. Tapi, pas sampai di bagian akhir, kamu itu pahlawan banget. Coba kalau waktu itu kamu nggak ngelindungin Jana. Mungkin alurnya berubah. Mungkin yang akan meninggal itu Jana. Ya, kayaknya waktu mengubah perasaan bencimu ke Jana jadi cinta, kan? Sayangnya saat kamu udah mulai cinta sama Jana, Jana-nya malah udah berhasil move on ke Cakra. Karma, maybe?
Dim, kamu tau nggak, kalau kamu versi wattpad dan versi novel beda banget. Kamu versi novel itu jahat tapi baik (eh gimana sih ini). Kamu nggak labil dan drama like on wattpad version. Kamu sayang sama Jana tapi tetep kekeuh buat nggak nyatain ke Jana. Karena menurut kamu, Jana berhak bahagia dengan siapa aja, termasuk Cakra, rival terberatmu. Ah, pacar-able banget kan kamu.
Dim, kalau aja ada duplikatmu di muka bumi ini, kayaknya bakal diuber-uber sama para perempuan deh. Abisnya kamu itu paket lengkap, tapi limited edition. Fiksi aja banyak yang suka apalagi kalau ada versi real-nya?


(Bukan) dari Fictophiliamu.

Selasa, 16 Februari 2016

Pergi Untuk Pulang

Source image: tumblr.com
Ada apa? Kau lelah berjalan? Duduklah, mari bersandar di bahuku sambil bercerita semaumu.

Kau mau pergi lagi? Silahkan. Berjalanlah terus, aku tak akan melarang. Sebab sejauh-jauh kau pergi, aku adalah rumah untuk menyambut pulang dan cerita-ceritamu seharian.

Sebab sejauh-jauh kau mencari, wanita itu haruslah menjelma menjadi aku. Tanpa menghilangkan kebiasaanku menghirup petrichor. Tanpa menghilangkan kebiasaanku tidur di sembarang tempat. Tanpa menghilangkan kebiasaan berimajinasiku yang berlebihan. Tanpa menghilangkan kebiasaanku menyesap secangkir susu cokelat di serambi rumah. Tanpa menghilangkan sifat kekanak-kanakanku. Ya, masih dengan semua kebiasaan anehku. Jika memang ada wanita selainku, pastikan ia harus sama denganku, utuh tanpa cela. Aku memang egois dan kadang sedikit perfeksionis.

Apakah ada? Tidak ada, kan. Baiklah. Mari bersandar lagi. Aku tahu, kau lelah berjalan seharian.


Salam hangat dari wanita yang akan mengusap lelahmu kelak.

Sabtu, 13 Februari 2016

Diam-diam Mengagungkanmu

source image: sarahlinda1999.tumblr.com
Tiga mantra ajaib yang mampu membuat saya tertidur lelap. Musik klasik, lelah, dan pesan singkat darimu.
Dua hal yang paling saya benci dari Februari. Hujan dan hari tanpa kamu.
Satu sisi yang tidak saya ketahui darimu. Rahasia yang tak pernah habis.

Saya ingin mengupas habis rahasia-rahasia yang mengulitimu. Kamu sarat akan hal-hal tak terduga, jadi biarkan saya menguak hal yang bersembunyi dalam dadamu. Saya penasaran, apakah saya ada di antaranya? Apakah pernah walaupun hanya sekali, kamu memikirkan saya? Apakah pernah?
Jika kamu bertanya pada saya, saya melakukannya berkali-kali, hampir setiap hari. Hingga saya letih sendiri. Bertanya-tanya dalam hati, apakah tidurmu nyenyak tadi malam? Apakah kamu masih gemar mengoleksi kemaja kotak-kotak? Apakah kamu ingin saya menemanimu menyesap susu cokelat di antara senja yang menguning? Ah, sepertinya pertanyaan terakhir sudah pasti jawabannya adalah tidak. Saya sadar diri sebelum kamu menjawabnya.

Pria scorpion, terimakasih telah mengisi hati dan hari saya dengan macam-macam peristiwa. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Mungkin sulit bagimu, yang baru saja putus cinta dengan kekasih lamamu. Mungkin sulit bagimu untuk menerima hati baru. Jadi, izinkan saya untuk perlahan-lahan menyelinap masuk dan membantumu menyembunyikan rasa sakit yang dulu-dulu. Bukankah akan lebih mudah melupakan seseorang dengan menemukan penggantinya?


Dari wanita yang diam-diam mengagungkanmu.

Kamis, 11 Februari 2016

Thank You, IMA!

Anak-anak alaynya IMA
Untuk sahabat-sahabatku. Eka, Esti, Tika dan Reza. Anak-anak IMA yang kerap mengisi hari-hari di Semarang

HAI! Apa kabz guys? Masih sehat kan? Masih ngapak? Masih suka wifi-an di gedung A1? Eh, sekarang kan lagi liburan semester. Hahaha. Aku kangen sama capcin kantin A1, btw. Pasti Reza juga. You’re my partner nyapcin everytime. Nggak paham sama nih anak satu, kayaknya dia udah kecanduan sama cappucino cincau A1.
Nggak tau sejak kapan kalian mendeklarasikan diri sebagai IMA, tapi aku ngerasa nyaman sama kalian. Bukan ‘Nyaman’ yang itu ya, Za (you know what I mean). HAHAHA. IMA, sesuai singkatannya Ikatan Mahasiswa Alay (please jangan ketawa sama singkatan absurd ini) bukan geng kok. Bukan kumpulan ibu-ibu arisan. Bukan kang begal apalagi remaja masjid. Walaupun namanya emang alay, tapi kita bukan abege-abege SMP yang suka haha-hihi di mall sambil main timezone lho. Kita cuma orang-orang yang dipertemukan gara-gara tugas sinematografi. Masih inget nggak? Tugas One minute talk? Program andalan kita semua, INSPIRING. WAHAHAHA. Berkat Bu Rafika kita jadi sedeket ini. Walaupun tugasnya sempet bikin gondok, but makasih Bu Rafika.
            Kalian emang ajaib. Cuma Eka yang sedikit paling waras diantara kami. Yang lainnya? Beuh jangan ditanya. Esti, si biduan pantura yang ngomongnya kayak kereta express. Cepet banget. Kalau ngomong suka pake nyanyi-nyanyi segala macem Ipul Jamil. Suka banget sama Jovial (padahal menurutku gantengan Andovi). Sampai sekarang masih mengidolakan mas *tuuuttt* yang kami berempat nggak tau siapa itu mas *tuuuttt*. Reza, si makhluk-malam-yang-doyan-tidur-di-kelas-tapi-otaknya-encer juga sama gilanya. Paling nyantai kalo ada tugas, tapi IPK-nya selalu cumlaude. Ya, dia emang titisan Einstein. Tika, yang sekarang udah nggak satu kampus sama kami. Calon perawat yang lagi gencar-gencarnya ngidolain Jovial. Kayaknya dia mau saingan sama Esti. Suka bikin baper cowo-cowok. Mungkin para lelaki di rombel dua udah dibaperin sama Tika semua. Nah, kalo Eka makhluk paling baper. Tempat curhat paling asyik dan anak yang paling sering nginep di kosanku. Doyan banget selfie, dan bikin kata-kata bijak macem Mario Teguh. Ndeskripsiin kalian emang nggak ada abisnya, ya. Hahahaha.
Aku sampai nggak bisa berhenti ketawa kalau udah ngumpul bareng kalian. Apalagi kalo udah wifi-an atau ngerjain tugas bareng. Uh, orang-orang sampe ngeliatin kita. Heran kali, ada manusia yang cekakak cekikik nggak abis-abis. Selalu inget sama kalimat andalannya Tika, “Kalian nyadar nggak sih. Kalian tuh paling berisik disini.” Yah, jadi kangen deh L.
            Walaupun jarak antara Semarang sampai Tegal memisahkan kita, tetep semangat ya guys. Tika, kita selalu nunggu kedatangan kamu buat ke Semarang lagi. Tapi jangan lupa bawain olos. Hahaha. Tahu aci juga nggak papa deh, Tik. Semoga cepet-cepet jadi perawat dan dapet pak dokter ganteng. Sekarang kan udah jadi maba lagi, dapet pak dokternya yang lebih fresh dong, Tik. HAHAHA.
            Kok jadi agak panjang ya? Padahal awalnya Cuma mau say hi aja sama kalian. Soalnya aku lagi kangeeeennn berat gara-gara liburan semester yang nggak rampung-rampung ini. Pasti abis ini Esti bilang, “Kuliah pengen libur, libur pengen kuliah.” Yeah, that’s life.
            Hal yang bakal paling aku kangenin setelah wisuda nanti, mungkin adalah kalian. Kumpul bareng kalian, ketawa-ketiwi. Nugas walaupun yang dibicarain sebenernya bukan tugas, sih. Semoga kita bisa wisuda bareng ya. Kita pakai toga bareng, foto, lalu bareng-bareng teriak,”MAKKK ANAKMU WIS WISUDAA!” Hihi, kebayang nggak sih? Jadi nggak sabar pengen wisuda, ya (Sok-sokan padahal belum ngarasain PPL, KKN dan bikin skripsi).
Last but not least, I miss you. Makasih udah selalu ada entah itu saat sedih ataupun senang. Semoga kita semua bisa sukses, AMIN! THANK YOU IMA!

Dari pacar gelapnya Cakka Nuraga.


Rabu, 10 Februari 2016

Terimakasih Untuk Diri Saya Sendiri

source image : http://photodoto.com/tumblr-blogs-for-photographers/
Saya benci taman saat akhir pekan. Saya benci menjadi sepi ketika melihat orang lain berlalu-lalang dengan raut bahagia.  Saya tidak suka melihat tawa mereka yang membuncah, seakan tak pernah melewati setitikpun masalah di hidupnya. Saya tidak menyukai semuanya. Hiruk-pikuk, aroma permen kapas, gelembung balon yang berterbangan, serta suara gesekan pantat anak-anak dengan perosotan tua yang terdengar ngilu di telinga saya.

Ada yang riuh dan gemuruh, bertalu-talu dalam pikiran saya. Mereka gaduh, berkali-kali mengatakan, “Kamu hanya iri dengan apa yang mereka miliki”. Namun saya hanya diam, sambil sesekali mengiyakan dan mengangguk samar.

Kamu hanya iri dengan apa yang mereka miliki.

Menyedihkan. Saya sungguh terlihat menyedihkan. Memendam rasa iri pada orang yang bahkan tidak saya kenal. Diam-diam saya menertawakan diri sendiri. Tawa saya kencang, menggema di setiap sudut kamar. Namun hati saya seperti teriris kecil-kecil. Darahnya mengucur deras. Sakit.
Saya memang iri. Kepada mereka yang masih bisa tertawa diselingi usapan lembut sang ayah. Kepada mereka yang merajuk meminta dibelikan mainan pada sang ibu. Atau kepada mereka yang hampir menangis karena diledek terus-menerus oleh sang kakak. Saya iri pada mereka, sebab saya tak memiliki itu semua.

Tentu saya tak bisa menyalahkan Tuhan. Segala sesuatu yang sudah direncanakan oleh-Nya adalah yang terbaik, tanpa saya ketahui. Namun sampai sekarang, saya belum merasakan melalui sudut pandang manakah agar saya bisa melihat kebaikannya. Melalui sisi mana agar saya bisa menerima takdir-Nya dengan hati lapang. Saya merenung berhari-hari, hingga sadar, yang saya butuhkan hanya melangkah lebih jauh. Saya hanya perlu mencari rupa bahagia lain untuk mengisi hati yang sudah mengeras. Saya hanya perlu membuka mata lebih lebar untuk melihat hal-hal kecil yang selama ini saya abaikan. Saya harus merelakan, sebab Tuhan memberikan apa yang saya butuhkan, bukan apa yang saya inginkan.

Mungkin kebahagiaan yang saya kira paling benar bukanlah bahagia yang ingin Tuhan berikan pada saya. Ada kejadian mengejutkan di luar sana yang siap disambut. Ada tangan yang siap terulur ketika saya terjatuh. Ada rentangan peluk, meminta saya untuk merengkuh tanpa ragu. 

Terimakasih, untuk diri saya sendiri karena telah bertahan. Terimaksih untuk berjuang dan menyadari semua kesalahan di masa lalu. Terimakasih, karena tidak menyia-nyiakan hidup untuk sekedar iri kepada orang lain.

Senin, 08 Februari 2016

Surat Sang Patah Hati


Saya adalah pelupa kesedihan ketika jalan bersisian denganmu. Rasanya bukan hanya berbunga-bunga, namun seakan semesta menyetujui apa-apa yang akan kita lakukan seharian. Berkubang dalam canda-tawa yang begitu menggemaskan, begitu manusia-manusia kasmaran menyebutnya. Ah, tapi saya tidak sedang kasmaran padamu. Begitupun jatuh cinta. Saya sudah melakukannya setiap hari. Saya hampir bosan, namun entah mengapa manik matamu menyiratkan rupa keyakinan. Maka dari itu, tak ada lagi kata ragu yang menyelinap dalam detik-detik yang kita lalui.

Saya kira kita akan terus bersama-sama. Tak muluk-muluk, saya hanya ingin terus melihat senyum yang rekah pada bibirmu. Namun sepertinya Tuhan mempunyai plot lain. Dalam dunia kepenulisan, biasa disebut plot twist, kalau saya tidak salah mengingatnya. Saya tidak bisa menentukan tanda baca apa saja yang akan digunakan, berapa halaman yang saya butuhkan untuk menulisnya, dan perihal lain yang tidak pernah saya pahami. Bukankah setiap manusia memiliki hak yang tidak bisa dirampas oleh siapapun? Ah, saya lupa Tuhan selalu mempunyai rencana yang tidak pernah bisa diduga-duga. Rencana-Nya tak bisa diganggu gugat, sekalipun saya adalah anak presiden ataupun orang paling berpengaruh di negeri ini. Tuhan menciptakan plot twist, kemudian ditambahkan bumbu-bumbu yang saya tebak adalah cuka, garam, dan mungkin brotowali. Saya pikir, itu bukan adonan yang pas, namun lagi-lagi saya tak bisa membantah. Melalui malam, saya dipisahkan dengan kamu tanpa adanya jeda untuk sekedar bernafas ataupun berpikir, “ Sebenarnya dosa sebesar apa yang telah saya perbuat hingga Tuhan menghukum tak tanggung-tanggung seperti ini?”

Hukuman itu membuat saya dan kamu menebalkan jarak. Baru kali ini saya merasa bahwa kita lebih senyap daripada gemerisik di padang ilalang. Kita bukan lagi perindu hari panjang yang dihabiskan bergelung berduaan di bawah selimut tebal. Kita menjadi penyimpan rahasia masing-masing, tanpa mau memberitahu hal besar apa yang tersembunyi di dalamnya. Kita adalah hambar dan kedinginan. Hingga pelan-pelan saya mengetahui, ada tokoh lain yang mampu membuatmu jatuh cinta lagi. Kamu berjalan jauh di depan saya, dengan alasan terlalu banyak perbedaan yang tumbuh membelukar di antara kita. Kamu tengelam dalam suasana baru, lalu meninggalkan saya yang sibuk menyembunyikan pilu di balik pintu.

Saya percaya, wanita yang kini berdampingan denganmu, adalah wanita paling bahagia sebab ia telah  memilikimu sepenuhnya. Wanita yang kini berdiri di belakangmu, juga wanita yang paling bahagia, sebab di depannya ia pernah memiliki pria itu. Pria itu kamu, yang pernah mengisi macam-macam bahagia di kepala saya. Terimakasih untuk 96 hari yang sangat berkesan.


Dari wanita pengeja langkahmu yang kian menjauh.